by

Selamat Ultah Alwi Hamu, 77 Tahun

Catatan: Syamsu Nur

BAGAIMANAPUN dalam usia 77 tahun, Alwi Hamu tetap dicatat sebagai tokoh pers nasional. Sejak mahasiswa Fakultas Teknik Unhas, sudah menjadi Ketua Ikatan Pers Mahasiswa.

Sekitar tahun 1966 mendirikan koran KAMI SULSEL dengan perjuangan yang sangat berat. Hanya karena mental yang kuat yang dimiliki Alwi Hamu membuat Koran KAMI Sulsel, menjadi koran yang diperhitungkan. Koran yang menyuarakan kebenaran dan keadilan yang konsekuen dan independen.

Kondisi percetakan di Sulsel waktu itu sudah mulai kewalahan kualitas. Alwi ke Muntilam, Jawa Timur membeli huruf timah beberapa kilogram. Dengan huruf yang disusun secara manual, huruf dipungut satu persatu dari case atau kotak huruf. Karena itu, ada istilah huruf undercase dan uppercase atau huruf capital.

Kondisi kesehatannya sekarang mengharuskan Alwi Hamu di kursi roda karena penyakit stroke yang dideritanya sejak setahun lalu. Namun semangatnya mengembangkan pers tidak pernah hilang dari pikirannya.

Ada di pikirannya bahwa koran cetak kertas tidak akan mati. Paling seratus tahun kemudian. Karena itu, ketika ada berita bahwa koran cetak mulai gulung tikar di Eropa dan banyak percetakan yang tutup, maka saya ditugaskan ke Eropa memboyong sejumlah mesin cetak fourhigh, mesin cetak bersusun empat yang bisa timbal balik berwarna.

Maka saya ke Inggris, di kota Manchester, kota sepakbola untuk membeli percetakan. Ternyata di sana ada gudang yang sudah berderet mesin cetak bekas, tetapi sudah tergolong modern yang dibungkus plastik, siap untuk dijual.

Saya langsung tanda tangan kontrak beberapa mesin cetak merek Goss Community. Mesin cetak produksi Jerman yang sudah terkenal di Indonesia.

Kemudian saya ke Belanda, dekat kota Amsterdam, mengunjungi percetakan yang sudah mau tutup. Seluruh isi percetakan itu, baik mesin cetak dan beberapa perlengkapan lainnya kami borong, segera dibongkar dan dimasukam dalam kontainer.

Dari mesin bekas Eropa itu kemudian dibagi-bagi ke beberapa kota di Indonesia Timur. Akhirnya beberapa kota seperti Kendari, Ambon, Kupang, Mamuju, Palopo, sudah terbit koran dengan mesin cetak berwarna sendiri. Terbit pada saat di Eropa, mesin cetak warna sudah mulai digudangkan, tidak operasional lagi.

Sekarang, bagaimana kiat Alwi Hamu agar tetap eksis, maka dilakukan konvergensi media. Penggabungan antara media cetak kertas dan media elektronik. Dan inilah yang terjadi. Ide ini diterapkan Alwi Hamu untuk seluruh Indonesia.

Beliau masih ketua SPS, Serikat Penerbit Pers seluruh Indonesia. Itulah ide yang berjalan sekarang, dan koran tetap bisa mempertahankan hidupnya. Meskipun ada media cetak yang sudah kewalahan.

Alwi Hamu yang sering ke Taiwan, dimana wilayah itu sudah lama koran cetak sudah pada berhenti terbit, kembali pemerintah Taiwan menganjurkan agar koran cetak dihidupkan kembali. Sebab, banyak anak sekolah yang cepat rusak matanya terkena radiasi komputer.

Lebih 50 tahun saya bersama Alwi Hamu, jiwa kepemimpinannya, kecintaannya kepada dunia pers, sangat tertanam kuat pada dirinya. Maka ketika Gedung Fajar dirancang didirikan, konsep utamanya harus ada hasil perjuangan pers. Maka gedung Fajar pun diberi nama Gedung Graha Pena yang pada puncaknya ada lambang Pena yang kokoh.

Konstruksi Pena itu dari baja. Konstruksi Pena di puncak Gedung Graha Pena adalah kontruksi baja yang tahan angin kencang. Biaya konstruksi Pena pada waktu itu, tahun 2007, adalah Rp1,5 miliar.

Banyak pengusaha lain yang tercengang melihat gedung Graha Pena itu. Dibenaknya, “kok penjual koran bisa bikin gedung tinggi seperti itu.”

Maka tidak lama, penjual mobil dan penjual semen, juga membuat gedung tinggi, yang lebih tinggi dari Graha Pena. Alwi pun tidak kehabisan akal. Iapun menciptakan motto “Graha Pena, Gedung Tertinggi Pertama di luar Jawa”. (*)

Comment

Berita Lain-nya