by

Early Warning System, BNPT Sebut 5 Ciri Penceramah Radikal

JAKARTA – Statemen Presiden Joko Widodo soal penceramah radikal, harus dianggap sebagai peringatan kuat peningkatan kewaspadaan nasional.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya radikalisme.

‘’Sejak awal BNPT menegaskan persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini. Karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme menjadi sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama,” tegas Nurwakhid saat dihubungi Sabtu, 5 Maret 2022.

Lantas apa ciri penceramah radikal? Nurwakhid, mengurai beberapa indikator yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan bukan tampilan penceramah. Setidaknya ada lima indikator yang disampaikannya.

1. Mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro idieologi khilafah transnasional.

2. Mengajarkan paham takfiri.
Yaitu mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

3. Menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah.

Sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

4. Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).

5. Biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifaan lokal keagamaan.

“Kenali, jangan terjebak pada tampilan. Tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan dan keragaman,” tuturnya.

Nurwakhid juga menegaskan strategi kelompok radikalisme bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.

“Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan Isu SARA”, urai Nurwakhid.

Strategi mempolitisasi agama yang dibenturkan dengan agama dan nasionalisme dan agama serta kebudayaan luhur bangsa.

Proses penanamanya dilakukan secara massif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.

“Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat ”, pungkasnya.(ril)

Comment

Berita Lain-nya