by

Kuda Bima

Oleh: Dahlan Iskan

Saya sendiri takut berdiri di atas kuda: pada awalnya. Terutama ketika kuda itu membuat gerakan yang mencurigakan: teruslah berusaha untuk memunggungi saya. Aku menoleh ke sisinya. Takut dia slentak – -ada yang tahu slentak dalam bahasa Indonesia? Tapi kuda itu berbalik. Jauhkan pantatmu di depanku.

“Jangan takut Pak,” kata kepala dusun di lereng timur Tambora, Sumbawa itu. “Dia,” tambahnya. “Dia selalu meminta kita untuk membelai pantatnya,” kata Pak Kadus.

Saya juga mulai menggosok pantatnya. Dia merasa nyaman. Lalu dia menekan pantatnya lebih dekat ke tubuhku. Dia hamil lagi. Gerakannya begitu spontan. Dan lembut. Dan seksi. Jika direkam, akan sangat menggemaskan: mungkin Prof Pry akan menuduh saya ingin berhubungan seks dengan kuda betina.

Pagi itu Pak Kadus baru saja tiba dari ladang jagung. Berjalan. Satu jam. Tidak tidur. Ladang jagung seluas 2 hektar itu harus aman dari babi hutan.

Kami seperti keluarga. Saya sudah diperlakukan seperti saudara perempuan mereka. Sampai-sampai saat kami bertiga berfoto bisa membuat Prof Pry cemburu. Apalagi istri Pak Kadus memakai kacamata hitam yang keren. Tidak kalah dengan bintang film yang pernah mendekati saya untuk meminta foto bersama – yang saya baru tahu nama bintang filmnya setelah foto itu beredar di medsos.

Saya masih beruntung: ketika menggendong bayi di desa tidak ada tuduhan bahwa itu adalah bayi saya dengan wanita berkacamata: saya bisa ditikam oleh Pak Kadus di Tambora.

Saya senang Pak Kadus mulai menanam jagung. Akhirnya “wabah” jagung di Sumbawa juga menyebar ke lereng timur Gunung Tambora. Tidak banyak ladang jagung di sisi timur ini. Tapi wabah hijau tampaknya menyebar dengan cepat di sini juga.

Dahulu, daerah ini terkenal dengan kacang metenya. Begitu juga di Flores bagian timur. Tapi kacang mete sudah merajalela. Lima tahun yang lalu. Sampai pohon jambu mete yang rindang tampak hitam: penuh binatang seperti kupu-kupu kecil berwarna gelap.

Saya ingat: Saya mencoba melempar batu kecil ke semak-semak daun dan bunga yang menghitam. Ribuan serangga kecil terbang untuk sementara waktu. Lalu hinggap lagi di bunga yang sama.

Mete memang merupakan tumbuhan alami. Tidak ditanam secara khusus. Tidak ada yang berkebun kacang mete sekarang. Kurang ekonomis. Biaya menanam dan merawatnya sangat besar. Musuhnya tidak hanya babi, tetapi juga sapi, dan kambing. Apalagi jambu mete baru berbuah setelah 5 tahun.

Demam jagung awalnya sulit didapat di sini. Penduduk percaya jagung sulit tumbuh: “tanah di sini mengandung pasir besi.”

Desa-desa di lereng Timur ini adalah desa transmigrasi: migrasi dari Bima dan Lombok. Masih baru. Gelombang pertama pada tahun 2003.

Pak Kadus angkatan pertama. Asal usul Bima Sakti. Dia termasuk di antara mereka yang bertahan di sini. Lebih dari separuh transmigran pergi lagi.

Anggapan “jagung tidak bisa tumbuh” terbukti salah. Ternyata jagung bisa subur. Dan baik-baik saja. Asli dijaga. Diberi pupuk. Pak Kadus membuktikannya. Harus rajin: termasuk tidak bisa tidur semalaman.

Ada juga investor yang masuk ke Tambora di sisi timur: tambak udang. Investornya berasal dari Surabaya. Saya mampir ke kolam modern. Masih baru. Baru saja menanam benih pertama. Rapi. Cantik. Dengan kincir airnya yang berputar sinkron. Ratusan jumlahnya.

Lokasi kolam agak ke selatan. Sebenarnya di pantai lebih jauh ke utara juga cocok. Tetapi investor takut: begitu banyak jembatan yang rusak. Ini seperti cinta seorang bujangan: setiap dibangun kembali istirahat lagi. Banyak kali.

Ternyata aliran air hujan dari gunung itu tumpah ke timur. Menyebar ke berbagai arah. Membentuk banyak sungai kecil. Butuh banyak jembatan: lebih dari 20 lokasi.

Investor tambak takut: bagaimana jika setelah panen jembatan hanyut lagi? Bahkan truk besar pun tidak bisa lewat. Udang bisa membusuk di jalan.

Saya sendiri, hari itu, harus melewati lima jembatan yang rusak. Salah satunya curam. Harus menemukan jalan memutar: jalan desa yang sempit. Lekok. Kemudian seberangi sungai tanpa jembatan di dekat desa.

Di lokasi jembatan lain kami harus turun dari mobil. Untuk menata batu-batu di tepi sungai. Sehingga mobil bisa merangkak keluar dari sungai.

Di jembatan lain kami harus dibantu oleh penduduk setempat: kami harus menggunakan cangkul. Jika gagal, warga sudah menyiapkan talinya: mobil akan ditarik dengan traktor pertanian. Ada juga lokasi dimana kami harus menunggu alat berat naik terlebih dahulu dari sungai.

Perencana jembatan sepertinya harus memikirkan hal itu: bagaimana merancang jembatan yang tidak mudah hanyut lagi. Juga bagaimana menjadi kuat. Sehingga investor tidak takut datang ke kawasan ini.

Tambora di sisi timur masuk ke Kabupaten Bima. Aneh. Dari Bima, untuk menuju Tambora Timur harus melewati Kabupaten Dompu. Setelah lima jam perjalanan di daratan Dompu, kami sampai di Tambora Timur.

Memang ada cara lain yang tidak harus melalui Dompu: menyeberangi lautan Teluk Bima. Tapi tidak ada kapal yang menghubungkannya. Bisa jadi hampir malam.

Ada baiknya Tambora diserahkan ke Dompu. Agar lebih rasional. Mungkin ditukar dengan sebagian daerah Dompu dekat Bima: tukar baut. Sehingga masyarakat bisa lebih terurus.

Tapi masalah layanan seperti ini sepertinya tidak menarik. Panas politik kedaerahan justru begini: perjuangan menjadikan Sumbawa provinsi yang terpisah dari NTB.

Kandidat gubernur sudah ada: Mohamad Syafrudin, anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama empat periode dari PAN. Foto-foto tersebut tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Sumbawa.

Atau mungkin nama ini: Indah Dhamayanti Putri – Bupati Bima saat ini. Ia hampir menyelesaikan masa jabatan keduanya sebagai Bupati Bima.

Putri dulu “hanya” istri Bupati Bima. Bupatinya adalah keturunan Raja Bima. Anak perempuan tersebut menjadi ibu yang akan melahirkan keturunan Raja Bima selanjutnya.

Ketika bupati menikah, Putri masih sangat muda: dia baru saja lulus SMA. Dua tahun menikah, sang suami meninggal.

Putri menjadi calon bupati penggantinya. Menang. Maju lagi. Menang lagi. Telak. Sekarang dia bujangan. Bahkan S2 hingga S3. Putri, dari Dompu, adalah pembelajar yang cepat.

Kini Putri telah menyiapkan calon bupati berikutnya: anaknya sendiri. Ia kini menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bima. Di usianya yang masih muda 27 tahun. Lagian masih jomblo. Namanya : Muhammad Putera Ferryandi, SIP. Orang Bima menyapanya dengan nama Ama Ka’u Yandi. Atau Dae Yandi.

Itu Bima. Ibu menjadi kepala eksekutif, Anak menjadi kepala legislatif. Betapa indahnya demokrasi. (Dahlan Iskan)

Comment

Berita Lain-nya