by

Hanoman MC

Oleh: Dahlan Iskan

Inilah yang dikatakan komentator Disway tiga hari lalu: hidup itu sederhana, yang rumit adalah keinginan. Komentator lain menulis hal-hal yang sejalan dengan formulasi kalimat yang bervariasi.

Saya langsung memilihnya sebagai salah satu komentar pilihan saya. Saya setuju dengan isinya. Saya telah melihat sebuah contoh: bulan lalu.

Hari itu, saya menghadiri resepsi pernikahan. Lokasinya masih di Surabaya tapi butuh waktu hampir 1,5 jam untuk mencapainya. Di sudut desa Sememi. Masih jauh dari Perumnas Manukan lama: masuk gang-gang percabangan.

Resepsi pernikahan diadakan di gang sempit di depan rumahnya – tiga bulan lalu masih disebut rumahnya. Lorong itu dipagari tenda dan kursi plastik. Aku hampir tidak tahu gang lagi. Saya pernah ke sana: ketika suami saya sakit keras. Dia baru berusia 50-an. Pekerjaan seumur hidupnya adalah sebagai pengantar surat kabar.

Dia terbaring lemas di ruang depan. Saya belum melihatnya dalam waktu yang lama – sudah lama sekali saya tidak muncul di koran.

Kondisi sang ayah sangat kritis. Putri sulungnya yang telah dilamar oleh perawan impiannya segera menikah. Di sebelah tempat tidur ayah. Pada hari yang sama dia meninggal.

Sang istri juga pekerja keras: pelayan kios di Pasar Atom. Pasangan ini memiliki tiga anak. Yang sulung ketika menikah, hampir menyelesaikan D3 kesehatannya. Kakaknya sedang belajar informatika.

Waktu sakit keras itu sang ayah lagi punya proyek: memperbaiki total rumahnya. Jadi rumah bata. Dengan lantai keramik. Dan plafonnya gipsum.

Baru bagian depan yang setengah selesai.

Beberapa waktu kemudian anak sulung itu kirim WA ke saya: ibunyi sakit keras –terkena Covid-19. Tidak bisa berobat di Puskesmas. Tidak ada tempat juga di rumah sakit. Covid lagi ganas-ganasnya. Nafasnyi sesak. Tersengal.

“Posisi ibu di mana?” tanya saya.

“Di kamar belakang,” jawabnyi.

Saya tahu kondisi kamar itu –kamar tidur sang ibu. Saya pun minta agar sang ibu dipindah ke kamar depan: ke ruang tamu –yang bisa diubah jadi tempat tidur. Biar ada udara yang masuk.

Sang anak nangis-nangis melihat keadaan sang ibu. Memburuk. Saya tidak bisa ke sana: Covid-19. Maka, lewat HP, saya lakukan apa yang harus dilakukan. Sehari saya kontrol tiga-empat kali: vitamin apa saja yang harus diminum, latihan apa yang harus dipaksakan dilakukan.

Membaik. Sembuh. Saya terkesan dengan keuletan hidup ibu itu: bagaimana harus mencukup-cukupkan hidup. Tanpa pernah mengeluh. Penghasilan kecil. Anak-anak harus tetap sekolah tinggi. Harus pula memperbaiki rumah.

Begitu sembuh, terpikir oleh sang ibu: perkawinan putrinyi belum pernah dirayakan. Saya datang lagi bulan lalu: untuk resepsi perkawinan itu. Pengantin wanitanya sudah hamil muda.

Begitu rukun semua warga di gang itu. Depan-depan rumah mereka jadi tempat duduk tamu. Pasti tidak perlu sewa. Itulah bagian dari gotong royong yang masih hidup di zaman digital.

Resepsi hari itu pakai adat Jawa. Tidak perlu ada panggung. Hanya ada backdrop di belakang pengantin –melintang menutup gang. Juga ada karpet di bawah kursi pengantin. Warna hiasan di gang itu meriah, menambah suasana gembira.

Sebanyak 20-an jenis peralatan dapur digantung berjejer di teras rumah tetangga –yang sudah jadi bagian dari arena resepsi ini. Itulah bagian dari adat Jawa: resepsi perkawinan harus menampilkan semua peralatan dapur. Setelah acara selesai alat-alat dapur itu boleh diambil. Dibawa pulang. Kadang sampai rebutan –mengincar alat dapur yang paling berharga.

Ketika saya tiba di lokasi, resepsi baru saja dimulai. Suara gending Jawa mengalun keras. Gendingnya: kebo giro. Tidak terlihat ada gamelan ditabuh. Oh… suara itu dari rekaman.

Yang juga langsung terlihat oleh saya adalah kiprah Hanoman. Yang lagi sibuk loncat sana loncat sini. Bukan main pentingnya kera putih itu di situ. Sang Hanoman punya fungsi ganda: penghibur sekaligus penata gaya.

Sambil berjoget, Hanoman itu selalu  memperhatikan apa yang perlu dibenahi.

Misalnya: di acara sungkeman –mengantin harus berlutut di depan orang tua. Hanoman itu sambil berjoget mengarahkan pengantin: harus bagaimana posisi sungkem yang benar –tanpa terasa mengoreksi kesalahan mereka.

Ketika ia lihat ada bagian baju pengantin yang mengsle, Hanoman itu merapikannya. Sambil tetap berjoget. Tanpa terasa ia sedang memperbaiki busana. Tidak pula terasa mengganggu kesopanan. Ketika ia lihat tidak ada lagi yang perlu dibenahi, Hanoman berjoget di sela-sela kursi tamu: menghibur. Anak-anak menggodanya. Ia meloncat ke sana ke mari seperti kera sungguhan.

Hanoman itu pula yang mewaspadai kalau-kalau ada botol minuman yang jatuh di meja depan pengantin. Ia yang memungut botol itu, merapikannya.

Sang Hanoman ternyata satu paket dengan juru rias pengantin. Dengan adanya Hanoman tukang rias tidak perlu mondar-mandir ke arena pengantin. Yang biasanya terlihat seperti adegan iklan di tengah YouTube. Hanoman bisa menyelesaikan semua persoalan secara menghibur. Itulah Hanoman serba bisa, multi fungsi.

Yang lebih serba bisa lagi adalah MC di acara itu: ia hanya perlu tripod –untuk menaruh handphone. Di HP itu sudah lengkap: ada gamelan, ada lagu barat, ada dangdut dan ada apa pun yang diperlukan di sebuah resepsi perkawinan.

Nama MC itu: Andus Srianto.

Ia berpakaian adat Jawa –meski lahir di Bengkalis, Riau. Ia kawin dengan orang Tuban, Jatim. Ia belajar adat Jawa di Tuban –tepatnya di sebuah desa jauh dari Tuban.

Andus bisa membawakan kata-kata apa saja untuk mengantarkan perjalanan pengantin menuju pelaminan. Dalam bahasa Jawa halus.

Ia juga bertugas menarasikan seluruh adegan di resepsi itu – dengan background suara gamelan dari HP-nya.

Setelah ritual selesai, Andus berdiri: memerankan diri sebagai MC tunggal.

“Acara pertama”, katanya, “pembacaan ayat-ayat suci Alquran”.

Lalu ia duduk di kursi. Ia jadi pembaca Quran. Lima ayat. Yang sudah ia hafalkan. Sambil tetap melihat layar HP. Quran itu kelihatannya ada di situ juga.

Selesai baca Quran ia berdiri lagi. Jadi MC lagi. Menyilakan saya memberi sambutan. Juga dari wakil kedua belah pengantin.

Di sela-sela acara itu ada hiburan: ada penyanyinya. Ia sendiri yang menyanyi. Diiringi musik dari HP-nya.

Begitu simple resepsi perkawinan ini. Tetap terasa meriah. Mengalir lancar. Seluruh acara cukup dikendalikan dua orang: Hanoman untuk di pelaminan dan MC untuk selebihnya.

Hidup itu benar-benar simple.(Dahlan Iskan)

Comment

Berita Lain-nya