by

Panglima Perang Palembang Tak Ingin Masuk Daftar Pahlawan

PALEMBANG – Di balik kisah heroik para pejuang di Palembang khususnya pada Perang 5 Hari 5 Malam tahun 1947, terselip sosok penting yang tidak banyak diketahui orang. Padahal, sosok ini begitu besar jasanya.
Hingga dalam setiap buku yang mengisahkan Perang 5 Hari 5 Malam selalu menyebut sosok ini.

Dia adalah Husin Achmad.  

“Dulu orang tua kami bercerita bahwa sejarah tidak pernah bohong, namun yang berbohong adalah orang yang menceritakan atau menulis sejarah itu sendiri (pembelokan sejarah),” kata anak ke-5 pejuang Husin Ahmad, Emil Husin, di kediamannya, Selasa sore (4/1).

“Ayah kami, Husin Achmad tidak pernah menulis buku, namun beberapa buku tentang pejuang besar kota ini, seperti yang ditulis Bambang Utoyo, Asnawi Mangkualam, Alamsyah Ratu Prawiranegara, hingga Abi Hasan Said, hingga cerita perjuangan di Medan, selalu ada namanya tertulis, Husin Achmad,” tambahnya, dikutip Kantor Berita RMOLSumsel.

Menurut Emil, ayahnya merupakan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di Palembang. Bahkan kiprahnya cukup besar di Perang 5 Hari 5 Malam kala itu.

Emil mengisahkan, pascakemerdekaan Republik Indonesia 1945, Belanda ingin kembali menguasai wilayah Indonesia dan salah satunya Palembang.

Residen Palembang yang saat itu dijabat  Mohamad Isa segera memanggil tiga orang tokoh penting untuk mengatur strategi mengusir Belanda dari Palembang. Ketiga orang tersebut yakni Husin Achmad yang menjabat Panglima Divisi 17 Agustus Sumbagsel, Alamsyah Ratu Prawiranegara, dan Bambang Utoyo.

“Jadi saat itu, beliau (Husin Achmad) dipanggil Gubernur (Muda Sumsel) kala itu yakni M Isa. Instruksinya laskar pejuang kemerdekaan harus menyerang semua sektor Belanda di Palembang. Maka terjadilah perang itu,” sambung Ferdi, anak ke-2 Husin Achmad.

Perang 1-5 Januari 1947 tersebut mengharuskan pasukan Indonesia yang menyerang Belanda dari berbagai titik. Mulai dari RS Charitas hingga Benteng Kuto Besak harus mundur 20 kilometer dari titik nol Palembang.

Mundurnya pasukan Indonesia kala itu berdasarkan perundingan gencatan senjata antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda.

“Saat pasukan Indonesia mundur, beliau tidak mundur, tetap di Palembang. Beliau menyamar sebagai masyarakat biasa. Namun sebagian besar keluarga besar Husin Achmad harus mundur bahkan pergi ke Lubuklinggau kala itu,” lanjut Ferdi.

Husin Achmad meninggal dunia di Jakarta tahun 2001. Istrinya Aminah binti Hasyim bahkan telah lama mendahuluinya menghadap Allah SWT pada 1976. Husin Achmad meninggalkan 8 orang anak.

Ferdi menambahkan, sesuai amanat bapaknya semasa hidup, nama Husin Achmad tidak ingin dimasukkan dalam daftar pejuang.

“Beliau tidak ingin masuk daftar pejuang ataupun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Padahal banyak para pejuang seangkatannya datang ke rumah kala itu meminta tanda tangannya untuk dapat masuk daftar nama pejuang. Akan tetapi hal itu tidak diikuti orang tua kami,” papar Ferdi.

“Baginya mengantarkan Indonesia merdeka sudah menjadi tugas dan pengabdian yang harus dan telah dilaksanakan,” imbuh Ferdi.

Rumah panggung peninggalan Husin Achmad di Lorong Laskar 4 Ulu hingga kini masih kokoh berdiri. Rumah panggung inilah saksi bisu perjuangan Husin Achmad salah satu tokoh penting dalam Perang 5 Hari 5 Malam.

Sejarawan Sumsel, Kemas Ari Panji mengatakan, sentral perjuangan Perang 5 Hari 5 Malam sebenarnya bukan di Jalan Jendral Sudirman saja. Bahkan dulu nama Jalan Sudirman itu belum ada. Yang ada yaitu Jalan Tengkuruk yang membentang dari Masjid Agung sampai depan Bioskop Mawar.

“Jadi dulu jalan itu namanya Jalan Tengkuruk. Berbelok ke arah Jalan Talang Jawo (Kolonel Atmo), wilayah Pasar Cinde itu menyatu dengan makam Raden Nangling di seberangnya, tidak terbelah,” terangnya.

Menurut Kemas, perjuangan para laskar tidak hanya serbuan dari satu titik saja, namun terbagi dalam beberapa front wilayah di Palembang.

“Salah satu titik perjuangan menyerang markas Belanda, ada di Lorong Lingkis (depan Pasar Cinde sekarang), seberang Hotel Beston. Nah di situ juga ada para laskar menyerang markas Belanda yang bertahan di RS Charitas,” tutupnya. (rmol.id)

Comment

Berita Lain-nya