by

Pantaskah Hukuman Mati Bagi Koruptor?

Oleh:

Muh Asri Irwan SH MH

MASIH  saja teringat beberapa bulan lalu Operasi Tangkap Tangan KPK atas beberapa pejabat di Kementerian Sosial RI. Petugas KPK mengamankan beberapa orang tersangka yang kemudian dilakukan pengembangan ke sosok Menteri Sosial Juliari Batubara. Begitu mencengangkan uang yang ditemukan disimpan di dalam 7 (tujuh) koper, 3 (tiga) tas ransel dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14,5 miliar.

Informasi yang diperoleh uang tersebut adalah uang suap berkaitan dengan pengadaan dana bantuan sosial (bansos) di tengah pandemi COVID-19. Rabu tanggal 21 April 2021 menjadi sidang perdana untuk pembuktian perkara Juliari Batubara dkk dengan dakwaan menerima suap sebanyak Rp32,2 miliar dari korupsi bantuan sosial COVID-19.

Penulis tentunya tidak akan banyak berbicara mengenai kronologis penangkapan sampai proses penanganan perkaranya karena materi ini mutlak menjadi domain Komisi Pemberantasan Korupsi. Penulis amat tertarik mengupas obrolan yang menyeruak ke publik dan menjadi dialektika akankah pelaku korupsi dana bansos covid 19 akan berakhir dengan penghukuman mati. Pro kontra penjatuhan pidana mati bukan saja menjadi konsumsi masyarakat hari ini.

Ia mengundang beragam pendapat, mulai dari para juris sampai ke warung kopi. Kecaman terhadap pidana mati dimulai sejak abad ke-17. Ahli hukum Inggris, Beccaria dengan berbagai argumentasinya menentang hukuman mati. Penolakan serupa juga terjadi di negeri kincir angin. Pemerintah Belanda malah meminta untuk tidak lagi menggunakan pidana mati sejak 17 Oktober 1870 dengan staatsblad Tahun 1870 Nomor 162.

Dengan argumentasi seperti di atas yang menolak hukuman mati, lantas hukuman apa yang pantas bagi koruptor. Pertanyaan ini akan selalu mengemuka jika berhadapan dengan fakta masih maraknya korupsi di negeri Indonesia. Di kubu pro pidana mati, berpendapat pemberlakuan pidana mati menunjukkan rasa simpati terhadap korban-korban kejahatan berat, namun penerapannya harus seselektif mungkin. Argumen ini didukung oleh Immanuel Kant dalam The science of Right (1970) mengatakan “ if you slander another, you slander yourself ; if you steal from another, you steal from yourself, if you strike another, you strike yourself; if you kill another, you kill yourself.”

Pernyataan ini menunjukkan persetujuan diterapkannya pidana mati bagi pelaku kejahatan serius, baik yang secara nyata telah menghilangkan nyawa sesama manusia maupun yang secara tidak langsung menyebabkan kematian sesamanya, termasuk didalamnya pengedar narkotika serta pelaku kejahatan keji lainnya. Apa sebenarnya  hukuman mati itu.

KBBI mengartikan hukuman mati sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang bersalah. Umumnya dilaksanakan dengan cara hukuman gantung atau tembak mati. Di Amerika Serikat hukuman mati dilakukan dengan kursi listrik, di Meksiko dengan kamar gas, di Perancis pada zaman revolusi dilakukan dengan alat yang disebut guillotine. Zaman dulu hukum adat di beberapa daerah di Indonesia mengenal pidana mati. Di Aceh, isteri yang berzinah akan dibunuh. Pada zaman kesultanan terdapat limamacam pidana utama yaitu memotong tangan pencuri, membunuh dengan pentungan, menyalib, memotong bagian tubuh tertentu dan menumbuk kepala dalam lesung.

Di Sulawesi Selatan pada masa pemerintahan Aru Palaka, orang yang membahayakan kekuasaan negara seperti Lasuni dipancung. Kepalanya diletakkan di atas baki dan dihadapkan kepada Aru Palaka sebagai bukti eksekusi telah dilaksanakan. Terpidana pemberontakan yang tidak mau pergi ke tempat pembuangannya pun boleh dibunuh oleh setiap orang yang menemukannya, Jadi semua tersangka kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat harus di pidana mati.

Pelaksanaan hukuman mati di Minangkabau juga menarik. Ekseskusi dilakukan di muka umum, seluruh warga harus datang untuk menyaksikannya. Kepala tersangka dibalut seperti haji, kemudian diikat pada tiang. Eksekusi dilakukan oleh mamak atau salah seorang keluarga korban. Si Pendendam harus menarik tandak dengan keris yang terhunus di muka penjahat itu.

Kalau jiwa si pendendam sudah panas ia baru boleh menikam leher sebelah kiri tersangka. Jika keluarga korban tidak mau melaksanakannya, maka Dubalang lah yang akan mengeksekusi penjahat. Ekseskusi hukuman mati ini dinamakan Talio. Pidana kasus perkawinan sumbang yang sering terjadi di Bali sangat kejam. Tersangka dibunuh dengan keris atau dibuang ke laut dengan kaki terikat. Anak seorang raja pun pernah ditenggelamkan. Di daerah Wajo Sulawesi Selatan Raja Aru Padali dari Tempe menjatuhkan pidana mati dengan keris.

Demikianlah gambaran gambaran Hukuman mati zaman dahulu. Dalam perspektif hukum Islam, pidana mati (uqbah al i’dam) memang nyata ditemukan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu had (hudud), qishash, dan ta’zir. Pidana mati merupakan hukuman maksimal yang senantiasa eksis dan diakui kelegalannya oleh hukum Islam. Hukum Islam tetap mempertahankan hukuman mati untuk tindak kejahatan tertentu.

Esensi penerapan hukuman mati pada hukum Islam lebih untuk melindungi kepentingan individu dan masyarakat
dari tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Karenanya tujuan umum adanya hukuman dalam Islam, termasuk hukuman mati, adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umat (mashlahah al-naas) dan menegakkan keadilan (daam al-adaalah).

Di China tiada ampun bagi koruptor, bahkan Cheng Ke Jie Wakil ketua Parlemen China dihukum mati, Ju Rongji Perdana Menteri China pernah mengatakan “siapkan ribuan peti mati untuk para koruptor, tetapi siapkan juga satu peti mati buat saya, jika saya juga korupsi, saya siap dihukum mati.” Perkataan Ju Rongji tersebut hendaknya menginspirasi para pemimpin Indonesia untuk tegas dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Dengan cara seperti itulah korupsi bisa ditekan, diberantas dan diminimalisir.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberlakukan resolusi tidak mengikat pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014 untuk menyerukan penghapusan hukuman mati di seluruh dunia. Meskipun hampir sebagian besar negara telah menghapus hukuman mati, tetapi sekitar 60 persen penduduk dunia bermukim di negara yang masih memberlakukan hukuman mati seperti di Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan pidana mati saat ini di Indonesia. Pidana Mati dalam KUHP, diatur dalam Pasal 10 huruf a menyatakan bahwa salah satu pidana pokok adalah Pidana mati, kemudian disebutkan dalam Pasal 11 KUHP bahwa Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.

Sejarah mencatat bahwa belum ada koruptor yang dihukum mati di Indonesia meski Undang Undang memberikan peluang. Namun tercatat beberapa yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Berdasarkan catatan penulis, koruptor pertama yang mengantongi hukuman dengan penjara seumur hidup adalah Adrian Waworuntu. Ia merupakan pembobol BNI 46 cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada awal 2003 dengan nilai Rp 1 triliun lebih. Pada 21
Februari 2005, Jaksa menuntut Adrian Waworuntu. dengan Tuntutan penjara seumur hidup.

Kemudian Putusan Majelis Hakim conform oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 30 September 2005 dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 24 Juni 2005. Vonis ini kembali dikuatkan oleh MA lewat putusan kasasi pada 12 September 2005. Adrian yang PK-nya telah ditolak itu kini menghuni LP Sukamiskin, Bandung.

Koruptor kedua dengan hukuman terlama di Indonesia yaitu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Saat menjadi Ketua MK, Akil Mochtar dianggap ‘dagang’ putusan dan korupsi keadilan. Terakhir yaitu Brigjen Teddy Hernayadi. Jabatan terakhir Teddy yaitu Direktur Keuangan TNI AD/Kepala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kementerian Pertahanan. Teddy melakukan korupsi anggaran Alutsista 2010-2014, seperti pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache. Awalnya, Teddy hanya dituntut 12 Tahun penjara.

Namun, Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan hukuman seumur hidup. Hukuman itu dikuatkan hingga kasasi. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyinggung tentang pidana mati. Disana disebutkan bahwa ; (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Namun demikian penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Syarat tersebut dituangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor bahwa yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang- undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai  pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Pandemi COVID-19 yang melanda negeri ini merupakan bencana alam nasional. Pemerintah secara resmi menetapkan covid 19 sebagai bencana nasional. Penetapan itu dinyatakan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020. Dengan demikian maka penulis berpendapat bahwa korupsi yang dilakukan pada saat negara sementara mengalami bencana nasional seperti pandemi covic yang melanda Indonesia saat ini maka terhadap pelaku dapat dijatuhkan hukuman mati dengan ketentuan Pasal yang disangkakan melanggar Pasal 2 UU Tipikor, sehingga secara yuridis hanya pelaku yang disangka melanggar Pasal 2 UU Tipikor yang dapat dijatuhi hukuman mati.

Selain itu tidak terdapat lagi pasal lain yang mengancam penjatuhan hukuman mati. Kembali ke persoalan pada awal artikel ini. Akankah pelaku korupsi dana bansos COVID-19 akan berakhir dengan penghukuman mati.

Menjawab pertanyaan singkat tersebut, Penulis berpendapat tentunya cukup melihat pasal sangkaan yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum kepada pelaku. Jika kemudian disangkakan Pasal 2 UU Tipikor maka dapat memenuhi standar untuk dijatuhkan hukuman mati tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal-hal memberatkan yang menjadi karakteristik perkara tersebut. Prosesnya pun haruslah dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, kesungguhan dan keterbukaan serta tidak sembarangan.

Penulis sangat berharap apgakkum yang menangani kejahatan korupsi khusus berkaitan dengan dana penanggulangan covid 19 mampu mengembangkan ke ranah perbuatan materil yang mengarah ke Pasal 2 UU Tipikor.

Di akhir tulisan ini, penulis masih bersikukuh untuk mempertahankan pendapat aliran penjatuhan pidana mati kepada pelaku kejahatan terkhusus kejahatan korupsi untuk skala tertentu sebab korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi sangat merugikan negara, mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.

Oleh karena itu dalam hukum positif, pidana mati tetap dibutuhkan bagi para pelaku kejahatan berat termasuk korupsi, meskipun dalam pengaturan serta penerapannya perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati. Penulis memandang esksitensi pidana mati ini sebagai jalan terakhir demi kepentingan masyarakat untuk pelaksanaan konsepsi social defence. Pidana mati menjadi suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari ketidaktertiban, ketidakamanan dan kesengsaraan rakyat. (*)

*)

Penulis Adalah Praktisi Hukum di Jakarta

Comment

Berita Lain-nya